Para gadis, sebagian masih belasan tahun, berdiri bergerombol di pinggir jalan sepanjang sekitar lima kilometer itu. Dengan pakaian yang mengundang mereka berteriak memanggil, melambaikan tangan, atau sekadar berpose. Sejak sore hingga larut malam. Lalu lintas pun menjadi padat. Para lelaki hidung belang akan melambatkan laju mobilnya. Berhenti sejenak lalu jalan lagi. Lampu mobil selalu ‘lampu jauh’. Sangat menjengkelkan bagi pemakai jalan lainnya.
Itu terjadi di ruas Parung hingga Semplak, Kabupaten Bogor. Sebelum reformasi, ruas etalase pelacuran ini bahkan lebih panjang lagi. Mulai Terminal Lebak Bulus dan Ciputat, Tangerang. Namun setelah Pemilu 1999, Pemkab Tangerang bertindak tegas. Maka ruas Lebak Bulus hingga Cinangka pun bersih. Usai Pemilu 2004 giliran Pemkot Depok yang bertindak tegas. Maka ruas Cinangka hingga Parung pun bersih. Kini, tinggal menyisakan ruas di wilayah Bogor. Kebetulan Tangerang dan Depok dipimpin oleh bupati dan wali kota berlatar belakang sipil. Sedangkan Kabupaten Bogor dipimpin bupati berlatar belakang militer.
Setiap kali warga mengadu memang ada reaksi sesaat dari pemda. Sepi pelacuran dalam beberapa hari, seperti beberapa pekan lalu. Namun kemudian marak lagi.
Warga tentu menuntut kedamaian dan kesehatan lingkungan. Wilayah pelacuran tak resmi ini sangat mengganggu tata sosial dan ekonomi keluarga. Tak sedikit rumah tangga yang terganggu. Timbul perceraian, konflik keluarga, dan seterusnya. Anak-anak menjadi terbengkalai, uang terhambur percuma. Tentu masyarakat Bogor menjadi rugi karena kualitas sumber daya manusianya tergerogoti oleh situasi ini. Norma sosial dan norma budaya menjadi kacau.
Masyarakat dan Pemkab Bogor pun tak diuntungkan oleh situasi ini. Penyerapan tenaga kerja? Pelacurnya datang dari lain kota. Para pedagang kaki limanya juga sama saja. Pajak? Tak ada sama sekali. Yang kita saksikan hanyalah ada saja mobil-mobil patroli milik tentara, polisi, atau Satpol PP. Rakyat menyaksikan semua itu dengan mata kepalanya sendiri. Melihat kenyataan ini butuh keberanian luar biasa bagi masyarakat untuk mengadu atau protes. Ada preman dan oknum yang siap berkeliaran. Karena itu, kini para germo makin aktif membuka gerai berkedok karaoke ataupun rumah biliar. Makin masuk ke jalan-jalan kecil, dekat kantor-kantor aparat keamanan. Ada simbiosis? Pasti dibantah.
Secara hukum negara pelacuran jelas-jelas dilarang. Apalagi ini dilakukan secara atraktif. Bahkan di negara-negara yang mengizinkan pelacuran pun dipilih lokasi yang tak berdekatan dengan permukiman. Kita tentu tak bisa memahami logika para elite di Bogor dengan membiarkan aktivitas yang merusak ini terus berkibar. Tak ada pihak yang diuntungkan, kecuali para pejabat yang korup dan bandit.
Mungkin ini soal kecil jika hal begini harus diurusi pejabat setingkat presiden, apalagi oleh panglima TNI ataupun kepala Polri. Namun bisnis pelacuran tentu tak hanya terjadi di Bogor tapi juga di setiap daerah di Indonesia. Tentu setiap hari rakyat menggerutu, atau mengumpat, mengutuk, dan geram. Jika setiap hari orang bertindak seperti itu, maka setiap hari jutaan energi negatif menaungi langit Indonesia. Mungkin inilah salah satu sebab negeri Indonesia terus terkena azab Tuhan. Indonesia dilaknat karena para pemimpinnya zalim dan tak amanah. Karena itu butuh political will dari pemerintah pusat.
Kita menunggu langkah nyata dari pemerintah terhadap banditisme yang telanjang ini. Itulah bahasa terang yang konkret.
Posting Komentar